Transgender adalah istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,
merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis
kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir (wikipedia).
Penjelasan dari beberapa sumber di internet maupun seminar-seminar, dokter apalagi psikiater kebanyakan memberikan masukan atau mendorong transgenrer menjadi sadar atau kembali kepada bentuk fisik seutuhnya.
Namun ada beberapa orang yang serius melihat hal mendasar ini sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dari sisi kemanusiaan dan terutama perasaan dari Transgenderer itu sendiri.
Ada 2 hal yang timbul dan sering diperdebatkan dari isu Transgender ini antara lain :
1. Internal Shock ýang meliputí; Perasaan & Psychology.
2. Eksternal Shock yang meliputi; Moral, pengakuan oleh negara, lingkungan sosial(keluarga & masyarakat), kesehatan, Agama yang dianut dll.
Menurut pengamatan saya point ke 2 sangat betolak belakang dengan apa yang menjadi harapan para Transgender. Sementara point 1 adalah harapan serta perasaan semua Transgender yang ada secara mutlak!(Kalau salah tolong beritahu saya di comment dibawah)
Point 1 sebenarnya adalah bidang kerja dari peneliti, dokter spesialist, psykiater asli yang benar-benar mempunyai tujuan membela dan berlandaskan sains.
Point 2 kalau mau djelaskan secara kasar adalah tidak perlu serta kurang kerjaan kecuali Agama yang memang merupakan tugasnya secara pendekatan dan bukan memaksa.
Pemerintah dalam hal ini para wakil rakyat yang terhormat seyogianya carilah issue-issue lain yang tujuannya menyejahterkan rakyat bukan keluarga dan mencari celah dari ketidak tahuan beliau-beliau yang terhormat yang pura-pura tahu akan isu Transgender ini.
Kedua sisi ini bagai 2 sisi belati namun, sisi dari point 2 justru lebih tajam dibanding point 1 yang lebih penting yaitu edukasi!
Kekisruhan dari cara berpikir orang timur memang menjadi kendala terbesar, keluarga terutama serta yang terpenting nilai-nilai Agama.
Di Indonesia topik ini sangat sering diangkat dimana-mana DPR, media massa, elektronik, seminar-seminar dengan tujuan akhir menyadarkan dll.
Sebenarnya sangat baik bila ada seminar yang bertujuan seperti ini. Namun apakah dokter spesialis yang mengedepankan sains dan psikologi bagi para Transgender serta menyajikan tanya jawab kepada pelaku-pelaku itu dihadirkan?
Menarik membahas sesuatu yang bukan menjadi ranah serta bukan pelaku Transgender seperti saya. Karena disisi ini kami yang mempunyai kerabat maupun teman yang terkait didalamnya sangat sering mendengar maupun melihat permasalah-permasalahan yang muncul dikalang yang umum yaitu Lesbian & Homoseksual.
Keberadaan pemerintah menurut saya sangat tidak beralasan karena dalam UUD 1945 tidak pernah disebutkan tentang Transgender.
Yang sering dan menjadi konsumsi publik hanya disebutkan tentang
pandangan tentang seksualitas, dalam hal ini
LGBTI(Lesbian,Gay, Biseksual, Transgender & Interseks) menempati posisi peripheral atau
pinggiran di dalam konstitusi publik. Bagaimana
tidak? Konstitusi publik selalu dilegitimasi
kekacauan tafsir keagamaan. Sedangkan tafsir
keagamaan dihegemoni oleh “paradigm”
heteronormativitas, yaitu pandangan bahwa yang
disebut normal dalam relasi seksual adalah
dengan lawan jenis.
Sementara tafsir keagamaan,
sebagaimana kita ketahui, memandang fenomena LGBTI sebagai
immoral, less-religius, penyakit sosial, menyalahi
kodrat, dan bahkan dituduh sekutu iblis. Tafsir
keagamaan yang dihegemoni oleh
heteronormativitas ini jugalah yang ikut serta
melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap
pelaku LGBTI; mulai dari pengasosiaan kaum
LGBTI dengan HIV/AIDS, penayangan sinetron-
sinetron di TV yang berbau mendiskriditkan
kaum LGBTI(misalnya sinetron “Azab bagi
Homoseksual”), razia satpol PP, hingga mindset
negatif publik terhadap mereka.
Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual
sangat jelas dan tertulis tentang larangan-larangan atas hubungan tersebut.
Atas dasar teologis
inilah, sejumlah kelompok tertentu yang konon
mengaku paling putih menghakimi seraya
memandang mereka (kaum LGBTI) tidak kurang
dan tidak lebih layaknya binatang.
Pada prinsipnya kaum LGBTI ini memiliki dua
“varian”. Pertama, bersifat kontruksi sosial
budaya, seperti budaya warok Reog Ponorogo,
wandhu dalam tradisi Ludruk dan tari Bugis
Cirebon. Kedua, bersifat “given” yang merupakan
hak mutlak Tuhan. Seorang dokter syaraf dalam
suatu forum tertentu menyatakan tentang
laporan terbaru dari penelitian Human Genom
Project(proyek gen manusia). Dikatakan dalam
laporan tersebut bahwa potensi homoseksualitas
adalah sesuatu yang inheren di dalam setiap
orang. Struktur gen manusia “pada-mulanya”
adalah perempuan. Kromosom Y yang
menjadikan seorang laki- laki, sebenarnya
merupakan penyimpangan terhadap susunan
kromsom manusia. Hanya saja, di dalam diri
setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda.
Bila penyimpangannya itu bersifat total, maka
manusia itu menjadi laki-laki sepenuhnya,
sedangkan jika penyimpangannya itu hanya
sedikit atau sebagian saja maka muncullah
manusia-manusia “yang-lain”, termasuk
homoseksual.
Membaca kasus-kasus diskriminasi terhadap
kaum LGBTI, jelas memperlihatkan bahwa negara
sudah masuk dalam ranah privat kaum ini karena
memaksa mereka untuk meninggalkan
identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu
demi sebuah “moral publik” yang konsepnya
menggunakan pandangan mayoritas terhadap
minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan
pencarian jati diri seorang manusia merupakan
sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi
oleh siapa pun, bahkan orang-orang terdekatnya.
Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga
diri dan martabat (dignity) seorang manusia
melekat. Martabat manusia adalah hal yang
paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi
internasional dan UUD 1945 hasil amandemen
beserta UU HAM telah juga dinyatakan bahwa
martabat manusia adalah termasuk jenis
kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa
diskriminasi.
Keterangan : Beberapa alinea adalah hasil dari copy paste dari
http://islamlib.com/id/artikel/ham-untuk-lgbti
Selebihx, otaqqu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar